Situasi MI Sabilul Khoer (kamis 10/01/13) |
Sisi
Kelam Kepatuhan dan Kepedulian Pertanggungjawaban Sosial (CSR) PT. Indocement
Tunggal Prakarsa, Tbk
Oleh: A Nurham Arba dan Abu Yazid*)
Corporate
Social Responsibility (CSR) pada dasarnya merupakan serangkaian
usaha sebuah perusahaan guna memastikan bahwa kegiatan operasionalnya tidak membahayakan
lingkungan, mampu bersikap adil serta dapat mengokomodasi kepentingan
masyarakat sekitar. Sejatinya, secara holistik dan komprehensif CSR dimaksud dapat
mengubah citra perusahaan yang konsisten menjalankannya. CSR adalah bentuk
pertanggungjawaban sosial yang berkaitan erat dengan sikap kepatuhan (compliance) dan sikap kepedulian (careness). Sedianya ada beberapa pilar
utama keterkaitan antara CSR sikap
kepatuhan tersebut, antara lain :
1.
Kepatuhan pada etika
2.
Kepatuhan pada hukum
3.
Kepedulian pada masyarakat
4.
Kepedulian pada lingkungan sekitar
Diatas boleh dikatakan sebagai parameter dan tumpuan kemana arah pertanggungjawaban sebuah perusahaan bisa dikatakan berjalan dengan baik sampai akhirnya dapat dikatakan berhasil.
PT. Indocement Tunggal
Prakarsa, Tbk (PT. ITP), salah satu perusahaan pertambangan yang disebut-sebut
sudah mapan (established) dan kawakan
mengelola manajemen lingkungan termasuk diantaranya mumpuni dan mempriotitaskan
pertanggungjawaban pada garis terdepan untuk menghadapi lingkungan sekitar.
Namun pada faktanya, tak pernah ada yang luput dari kealpaan, tak ada suatu
perusahaan yang mampu menampakan kesempurnaan program CSR-nya termasuk oleh PT.
ITP. Dunia penampakan (fenomenologi) tetaplah sebuah penampakan yang sudah
terbungkus opini publik dengan sedemikian rupa sehingga hampir dapat “menyembunyikan”
kekurangan (baca: borok yang fatal), yang kiranya bisa saja dapat seketika membalikkan
opini publik tersebut jika kekurangan program CSR-nya tersebut dapat mencuat
dihadapan khalayak umum secara lebih luas.
Sebagai salah satu lembaga swadaya masyarakat yang aktif dalam fungsi pengawasan sosial untuk mayarakat sekitar maka LSM Laskar Padjadjaran (LSM-LPN) pun pada akhirnya dapat menemukan suatu gambaran obyektif mengenai persoalan lingkungan hidup berkaitan dengan program CSR yang berlangsung oleh suatu perusahaan, tak terkecuali PT. ITP. Seperti mana telah diketahui bahwasanya PT. ITP (plant Citeureup) pun memiliki kesamaan domisili hukum dengan DPP LSM kami, yakni pada titik koordinat yang akurat sama; dalam posisi berada di Desa Citeureup Kecamatan Citeureup Bogor, Jawa barat. Maka dinilai sangat perlu bagi kami untuk mengkritisi persoalan CSR PT. ITP yang juga mengusung pertanggungjawaban sosial pada lingkungan di mana DPP kami berada.
Pada dasarnya sebagai bagian dari masyarakat, kami LSM LPN sangat mengapresiasi program CSR PT. ITP. Namun hubungan sebab akibat (causa verband) atau hubungan kausalitas-lah menjadi kami juga harus ambil sikap dan berstatement terhadap kegiatan CSR tersebut. Ini menjadi sebuah tolok ukur kami untuk mau berbagi temuan yang kami saksikan secara langsung, secara faktual dilapangan. Adanya suatu sebab yang terang, riil sehingga menjadi latar belakang yang kuat guna dapat di evaluasi bersama-sama terhadap “kekurangan” dari berlangsungnya secara praktek CSR PT. ITP. Salah satunya seperti fakta yang terjadi di salah satu Madrasah Ibtida’iyah (MI) Sabilul Khoer, madrasah yang berlokasi di “ring satu” yakni di Kp. Lemper Desa Citeureup Bogor atau beberapa meter saja dari konsentrasi operasional plant PT. ITP, (Power Division). Observasi kami berpuncak pada hari kamis (10/01/13) di Madrasah tersebut, di mana sempat melakukan audiensi dengan pihak kepala sekolah, Bapak R. Solahudin SAg, MPd dan Bapak Usman yang mewakili dari CSR Departement PT. ITP.
Pada hari kamis tersebut kami secara bersama-sama menyaksikan secara langsung dimana ditemukan terdapat dua puluh unit kursi dan meja siswa bantuan PT. ITP yang kurang layak untuk dikatakan sebagai sebuah bantuan. Pasalnya, dari mutu barang yang diberikan oleh pihak PT. ITP sangat tidak layak pakai untuk kegiatan belajar mengajar (KBM) siswa. Bagaimana tidak, kedapatan beberapa mutu barang yang tidak sesuai dengan standar baku mutu yang diperkenankan untuk proses pendidikan sekolah. PT. ITP barang pasti memiliki kapasitas sebagai korporasi yang memangku sertifikat standar mutu tetapi sungguh ironis bila tidak sanggup memantau arus mutu barang yang diberikan termasuk bantuan barang yang menopang KBM pada sekolah-sekolah di lingkungan sekitar. Standar Nasional Indonesia (SNI) menjadi kesepakatan sosial dalam kerangka NKRI, SNI pun tegas hasil adopsi dari standar mutu internasional tepatnya ISO yang diakui sebagai pengakuan kredibilitas sekaligus integritas suatu produk dalam dunia (masyarakat) industri yang beradab. Lebih jauh lagi, mutu barang seperti unit kursi dan meja untuk proses KMB kiranya sudah ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang selalu dijaga ketegakkannya oleh bangsa yang harus memprioritaskan dunia pendidikan.
Bilamana semula ada anggapan bila bantuan unit kursi dan meja pada hakikatnya “sebuah bantuan, maka terima lah dengan apa adanya”, bahwa bantuan tersebut sudah merupakan itikad baik suatu korporasi paling tidak jangan diamini secara mentah-mentah, apalagi bila bantuan (barang) tersebut mengenyampingkan mutu dan secara tendensius terkesan “asal-asalan”. Ini menjadi persoalan yang menerobos prinsip etika, dalam prinsip etika (kepantasan) jelas bahwa akan menjadi suatu itikad baik bila itikad tersebut juga membawa causa yang baik pula (bermutu d/a valueable). Konfirmasi dari perwakilan CSR PT. ITP, Bapak Usman mengatakan bahwa barang tersebut diperoleh dari hasil salah satu anak usaha binaan PT.ITP yaitu masyarakat sekitar (warga dari 12 Desa Binaan Indocement; Desa Lulut, Klapanunggal Bogor). salah satu anak usaha binaan tersebut (vendor) yang dimaksud adalah pengusaha meubel dari Desa Lulut, pengusaha kerajainan kayu/meubel yang biasa menangani pengadaan barang bantuan PT. ITP guna melancarkan program CSR-nya. Cetak tebal (kata: biasa) tadi menjadi diksi yang mampu menjelaskan secara tidak langsung sekaligus menjadi temuan kami yang berikutnya, bahwa pengadaan barang cenderung selalu diperoleh dari sumber secara tunggal (monopoli pengadaan) oleh salah satu pihak saja. Kalaupun itu bukan berbentuk tender maka hal tersebut merupakan tindakan meng "anak emas" kan salah satu pihak pengadaan barang saja dari salah satu anak usaha binaan. Padahal, pada kenyataannya dari 12 desa binaan juga memiliki banyak pengrajin meubel lain yang tidak kalah mengenai kemampuan kualitas hasil kerjanya. Hal ini menjadi implikasi tersendiri bahwa diduga hal tersebut merupakan salah satu bentuk pelanggaran hukum baik dari sisi lex generalis ( Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas) maupun lex specialis yang salahsatunya seperti kaidah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Merunut kedua poin diatas dapat mempengaruhi (menimbulkan) rendahnya kadar prinsip kepatuhan (compliance) terhadap dua buah parameter diatas, yang menentukan tingkat keberhasilan CSR PT. ITP dalam jangka pendek maupun jangka panjang di masa depan, yakni kepatuhan pada etika dan kepatuhan pada hukum. Berikutnya adalah parameter kepedulian (careness) mengenai kepedulian pada masyarakat dan kepedulian pada lingkungan, dengan kejadian ditemukan tiga puluh unit kursi dan meja tersebut menjadi mengurangi kadar prinsip kepedulian (careness). Kepedulian masyarakat disini diartikan sebagai kepedulian masyarakat pendidikan (education society), masyarakat yang terus berusaha meningkatkan serta membantuk kualitas generasi penerus bangsa. Madrasah Ibtida’iyah Sabilul Khoer dalam sejarahnya merupakan salah satu sekolah dasar tertua yang ada di Kecamatan Citeureup, awalnya merupakan majelis taklim sejak tahun 1950 yang didirikan oleh empat serangkai putra daerah yang juga santri yakni KH. Shiddiq, KH. Mamad, KH. Rusydi dan KH. Ucup kemudian bertransformasi menjadi Madrasah Dinniyah pada tahun 1960. Ini menjadi kontemplasi yang nyata bahwa keberadaan MI Sabilul Khoer lebih dulu ada ketimbang keberadaan PT. ITP yang lahir pada kurun tahun 1970-an. Alih-alih MI Sabilul Khoer sampi detik ini mampu melahirkan SDM lokal seperti munculnya beberapa tokoh masyarakat dan turut berkontribusi membangun Citeureup dan sekitarnya. Kemudian mengenai kepedulian lingkungan menjadi aspek yang tidak bisa terluka karena peristiwa rendahnya mutu barang bantuan PT. ITP tersebut, bilamana kita kaitkan dengan semangat supremasi Lingkungan Hidup umpamanya sebagaimana amanat Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terutama menyangkut aspek ekoregion maupun penghormatan terhadap kearifan lokal.
Kiranya peristiwa di atas memang memprihatinkan dan berdasarkan pemantauan LSM LPN, diindikasikan terdapat beberapa sekolah lain yang juga mengalami hal serupa. namun searifnya peristiwa ini dapat dievaluasi sebagai bahan kajian ulang, introspeksi dan juga refleksi ke depan agar para stakeholder seperti masyarakat dan investor (korporasi) dapat harmonis dalam kerangka laju pembangunan berkelanjutan (suistainable development) yang selalu kita idam-idamkan dapat berlangsung di negeri ini. (Citeureup, 11/01/13)
*) dedikasi kami atas jasa MI Sabilul Khoer sebagai embrio SDM Lokal Citeureup Kab.Bogor (buffer zone PT. ITP)
Untaian fakta gambar
Tampak bawah meja siswa (10/01/13) |
Kaki meja yang pincang (10/01/13) |
tekstur kasar pada kayu, defect finishing processed (10/01/13) |